welcome to my blog. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

this is my blog,,,,,if you want join me, follow me n lets see more

Dilema Ujian Nasional (UN)

Sejak hasil Ujian Nasional SMU dipublikasikan Senin lalu dan banyak siswa yang tidak lulus karena nilainya dibawah 4.25, bertubi-tubi kritikan terus melayang ke pemerintah. Mulai dari “tidak sensitif terhadap permasalahan”, sampai ke “pemerintah melanggar HAM!”. Sayangnya hampir semua kritikan tidak konstruktif. Misalnya, pernah ada siswa yang memprotes kenapa belajar 3 tahun ditentukan 3 jam? Ada juga yang protes kenapa kelulusan ditentukan hanya dengan 3 mata pelajaran.

Kalau ujian 3 mata pelajaran saja tidak lulus, kalau ditambah lagi, jangan-jangan semakin tidak lulus?
Ujian 3 jam untuk menilai proses belajar 3 tahun juga tidak dapat terlalu disalahkan. Tentu saja hasil ujian nasional bisa lebih mencerminkan kualitas akademik siswa kalau frekuensinya lebih sering (contoh: 3 bulan sekali). Tetapi dengan kekurangan anggaran nasional yang terus terjadi, akan terasa lebih pantas kalau dana pemerintah dipakai untuk memperbaiki kualitas guru dan sarana pengajaran.
Ini kembali mengingatkan kita kalau UN bukan masalah gampang. Di satu sisi eksekutif ditekan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, dan di sisi yang lain juga dituntut untuk meluluskan sebanyak mungkin siswa.
Ada dua rantai dalam meningkatkan kualitas pendidikan, pertama meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri, dan yang kedua adalah mengevaluasi output dari hasil pendidikan, antara lain dengan UN. Jika kualitas sudah diupayakan untuk meningkat, tapi tidak pernah dievaluasi, lalu dari mana pemerintah tahu kalau kualitas pendidikan sudah lebih baik. Kalau sudah dievaluasi, dan siswa-siswa yang kualitasnya dibawah standar tetap diluluskan, berarti pemerintah melakukan kebohongan publik.
Atau standarnya diturunkan? Nilai minimum 4,25 saja sudah terdengar sangat rendah, kalau diturunkan berarti kualitas akademik pelajar Indonesia semakin rendah. Atau standar kelulusan ditentukan secara regional (apalagi dengan semangat otonomi daerah)? Berarti si Fulan bisa jadi orang pintar di provinsi A tapi jadi orang geblek di provinsi B. Bukannya seharusnya kepintaran adalah sesuatu yang universal?
Oleh karena itu, ujian nasional harus tetap diadakan, dengan standar (yang kalau bisa) terus menerus dinaikkan. Tetapi ini tidak berarti pemerintah tinggal berpangku tangan, karena anda, pemerintah, punya ujian yang jauh lebih berat, yaitu meningkatkan kualitas pendidikan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

4 komentar:

RURY UNESA mengatakan...

apakah ada solusi lain yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah ujian yang setiap tahun menjadi polemik ini?
saya dulu pernh membaca suatu wacana dri seorng profesor di UI, bhwa ujian tidk akn menakutkan jika menggunakan suatu teori yg dapat disebut dengan teori "FUN"??kalau menurut saudara sendri bagaimana?

Yeni Arista(093654036) mengatakan...

bagus juga pendapat dari profesor tersebut, namun kini kelulusan dari ujian dapat di lihat dari ujian sekolah, sehingga siswa tidk lagi cemas dengan ketidak lulusa. yang penting usaha dan doa,heeeeeee

Pendidikan Indonesia mengatakan...

menurut pendapat saya... jika mau ujian gak usah grogi atw ,rasa cemas,,,malah bikin gak nyambung pelajarane heeee

Yeni Arista(093654036) mengatakan...

sip..tapi jangan lupa belajar dan doanya,heee

Posting Komentar